Kedaulatan
pangan memang menjadi isu semua Negara baik dinegara maju maupun Negara
berkembang. Negara-negara Eropa, Amerika, Jepang dan Australia adalah contoh
Negara maju yang sampai saat ini tidak kekurangan pangan, bahkan menjadi
eksportir berbagai produk pangan dunia. Indonesia sempat menjadi Negara
swasembada pangan, namun hal tersebut tidaklah lama. Hingga saat ini Indonesia
kembali mengimpor kebutuhan pokok seperti beras, gula dan kedelai.
Sangat riskan
memang jika sebuah Negara kekurangan pangan, apalagi Negara dengan jumlah
penduduk lebih dari 240 juta jiwa seperti Indonesia. Eksportir pangan tentu
akan semena-mena memainkan harga pangan. Karena sudah pasti, semahal apapun
harga pangan akan tetap dibeli ketika stok mulai langka. Itulah sebabnya, food security menjadi perhatian semua
Negara.
Masyarakat
Indonesia tentu masih ingat lonjakan harga kedelai akibat minimnya pasokan yang
memicu para pengrajin tempe berhenti berproduksi. Heboh lonjakan harga kedelai
tersebut seharusnya tidak perlu terjadi bilamana lahan pertanian di Indonesia
dimanfaatkan semaksimal mungkin, dengan dukungan penuh dari pemerintah. Dalam
hal ini petani memang menghadapi dilema, di satu sisi budidaya kedelai membutuhkan
penanganan dan resiko yang tinggi, sementara berbagai insentif seperti subsidi
pupuk mulai dikurangi. Disisi yang lain, petani harus bergelut dengan serbuan
komoditas impor. Selama ini pemerintah hanya reaktif merespon gejolak harga
pangan. Belum ada perencanaan yang lengkap tentang ketahanan pangan nasional
dan upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Sehingga tak heran jika ketika
terjadi lonjakan harga, opsi impor masih menjadi opsi utama.
Swasembada
pangan tidak akan terwujud jika nasib petani masih belum sejahtera. Swasembada
pangan dan kesejahteraan petanimerupakan dua tujuan yang harus dicapai bersama.
Pemerintah dituntut untuk hadir memberikan roadmap sektor pertanian agar
seluruh komponen bangsa megetahui sasaran, prioritas, daya dukung untuk
mencapai swasembada pangan.
Beberapa langkan
strategis diantaranya, yang Pertama, Penataan
kembali tata ruang dan wilayah diseluruh wilayah Indonesia perlu dilakukan agar
tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian. Saat ini alih fungsi lahan pertanian
masih sekitar 600.000 ha per tahun. Dengan jumlah lahan pertanian yang
rata-rata dimiliki petani hanya 0,3 ha per keluarga petani, bukan tidak mungkin
dalam waktu dekat banyak petani yang beralih profesi karena luasan yang hanya
0,3 ha tidak akan pernah bisa memberi kesejahteraan kepada petani. Untuk pembangunan lahan baru dengan infrastruktur
yang memadai harus segera dilakukan.
Kedua, Penurunan minat generasi muda
disektor pertanian terutama on farm nampaknya
tidak bisa dihindari. Untuk itu, teknologi dan mekanisasi pertanian harus
dikembangkan untuk menggantikan tenaga kerja manusia. Pembangunan sektor off farm juga diperkuat dengan
mendirikan industri hilir pertanian. Sehingga pendapatan dari sektor pertanian
akan meningkat.
Ketiga, penguatan lembaga riset di dunia
pertanian harus didukung. Perguruan tinggi dan balai penelitian dapat menjadi
acuan bagi para petani dalam menghadapi tantangan dunia pertanian. Melalui hasil
kajian lembaga riset inilah petani dapat menerapkan teknologi tepat guna untuk
mendukung usaha pertanian mereka. Lembanga riset juga membantu petani
menerapkan teknologi baru yang lebih efektif dan efisien, serta sesuai
diterapkan dilahan pertanian mereka.
Keempat, diversifikasi pangan harus
kembali digalakkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat akan beras.
Sampai saat ini, konsumsi beras rata-rata per kapita Indonesia mencapai 138 kg.
jauh dari konsumsi rata-rata dunia yang hanya sekitar 53 kg per kapita. Bahkan
di Malaysia, negeri serumpun dengan Indonesia hanya 77 kg per kapita. Jika
Indonesia mampu mengurangi 50 kg per kapita saja, Indonesia akan menghemat 12
juta ton. Ada banyak sekali sumber karbohidrat yang bisa dikonsumsi masyarakat
seperti ubi, singkong, sukun, sagu. Pola hidup masyarakat juga perlu dirubah
dengan memperbanyak konsumsi sayur dan protein.
Kelima, Arah pembangunan pertanian
kedepan harus memperhatikan pelestarian dan keberlanjutan usaha tani. Untuk itu
pola pertanian terpadu dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan antara
pertanian, perikanan, dan peternakan penting dilakukan. Pengelolaan residu
tanaman dan ternak juga perlu dilakukan agar “zero waste”. Tidak ada lagi
reidu pertanian yang terbuang percuma.
Hal ini tidak bisa dipisahkan dari pola konsumsi masyarakat. Jika permintaan
akan protein tinggi, gairah petani untuk melakukan usaha peternakan tentu juga
tinggi. Sebaliknya, pola konsumsi seimbang juga pasti dilakukan apabila harga
daging sebagai sumberprotein juga bisa dijangkau oleh konsumen. Dalam hal ini
pemerintah harus hadir memberikan stimulus kepada petani untuk memulai usaha
peternakannya.
Keenam, Akses pemodalan kepada petani
juga perlu menjadi perhatian yang serius. Hingga saat ini petani masih tidak
berdaya menhadapi anjloknya harga komoditas ketika panen. Ini tentu dikarenakan
modal yang dimiliki petani sangat terbatas sehingga untuk modal budidaya
selanjutnya petani harus menjual hasil panennya. Ini diperparah dengan stok
barang saat panen yang melimpah, sehingga pembeli dengan mudah menurunkan
bahkan mempermainkan harga. Dengan akses modal yang mudah diharapkan para
petani dapat menahan stok barang dan menjualnya ketika pasokan dan harga mulai
stabil.
Untuk
menciptakan Indonesia yang berdaulat dibidang pangan, peran strategis
pemerintah mutlak diperlukan. Sikap abai dari pemerintah menanggapi permasalahan
kesejahteraan petani akan memperpuruk keadaan, menjadikan petani enggan
melanjutkan usaha taninya, yang berdampak pada krisis pangan dan lonjakan harga
pangan. Tonggan Revolusi hijau II harus segera ditegakkan agar Indonesia
kembali berdaulat dibidang pangan secara berkelanjutan.
No comments:
Post a Comment